YESUS MENGETUK PINTU IMAM MUSLIM – ZAK GARIBA
Setiap bulan dilakukan kebaktian di Gereja Anglikan Raja
Damai di dekat Pantai Wasaga. Yang memimpin kebaktian malam minggu adalah suami
istri Zak dan Karen-Marie Gariba. Mereka berdua tinggal di Barrie.
Meskipun tampaknya kebaktian berlangsung biasa-biasa saja, kisah bagaimana Zak menjadi seorang pastor layak untuk disimak. Berbagai halangan dan pengalaman mengajarkan Zak bahwa Tuhan memang bekerja dengan cara-cara yang misterius.
Zak berusia 44 tahun, dia lahir di negara Afrika Barat Nigeria dan dibesarkan di Ghana Barat, Afrika. Orang tuanya punya 6 anak laki dan karena suatu sebab dia dipilih untuk masuk sekolah Islam (madrasah). Orangtuanya mengambil keputusan bahwa Zak harus menjadi Imam. Ayahnya menerangkan bahwa di sekolah itu guru-guru akan mengajarkannya bahasa Arab, mendalami Qur’an, memimpin jemaat Muslim beribadah, dll. Zak belajar di madrasah, dan pada waktu yang bersamaan juga belajar di sekolah biasa. Akhirnya pada usia 26 tahun, dia menjadi Imam di mesjid lokal. Selain jadi ketua umat Muslim, dia pun punya pekerjaan lain yakni pengawas data bidang pertanian di perusahaan internasional.
Meskipun tampaknya kebaktian berlangsung biasa-biasa saja, kisah bagaimana Zak menjadi seorang pastor layak untuk disimak. Berbagai halangan dan pengalaman mengajarkan Zak bahwa Tuhan memang bekerja dengan cara-cara yang misterius.
Zak berusia 44 tahun, dia lahir di negara Afrika Barat Nigeria dan dibesarkan di Ghana Barat, Afrika. Orang tuanya punya 6 anak laki dan karena suatu sebab dia dipilih untuk masuk sekolah Islam (madrasah). Orangtuanya mengambil keputusan bahwa Zak harus menjadi Imam. Ayahnya menerangkan bahwa di sekolah itu guru-guru akan mengajarkannya bahasa Arab, mendalami Qur’an, memimpin jemaat Muslim beribadah, dll. Zak belajar di madrasah, dan pada waktu yang bersamaan juga belajar di sekolah biasa. Akhirnya pada usia 26 tahun, dia menjadi Imam di mesjid lokal. Selain jadi ketua umat Muslim, dia pun punya pekerjaan lain yakni pengawas data bidang pertanian di perusahaan internasional.
Zak berkata bahwa pada usia 27 tahun, perusahaan tersebut memperkerjakannya di Nigeria di tahun 1987. “Aku tiba di sana, bergabung dengan sebuah mesjid dan mulai berkenalan dengan para jemaat di sana,” katanya. Setahun kemudian Zak menjadi Imam di mesjid Nigeria tersebut.
Persoalan muncul dari rekan-rekannya yang beragama Kristen
yang disukainya dan mereka suka berdebat tentang isi Alkitab dan Qur’an. Suatu
hari, seorang dari rekan-rekan ini memintanya untuk memberi tumpangan mobil
untuk membawa mereka ke KKR (Kegiatan Kebangunan Rohani) Kristen di sebuah
stadium. “Aku setuju saja. Tapi pada saat itu aku harus menjaga anak perempuan
dari pemilik rumahku yang berusia 12 tahun. Anak ini lumpuh dari pinggang ke
bawah. Dia berjalan menggunakan tongkat penopang (kruk)”, katanya. Zak ingat
bahwa dia lupa sama sekali atas janjinya untuk menyupiri teman-temannya sampai
mereka tiba di rumahnya untuk minta diantar.
Akhirnya teman-temannya berkeputusan untuk membawa serta anak
perempuan itu bersama mereka dan nantinya anak ini bisa pulang kembali bersama
Zak. “Jadi aku menyupiri mereka ke stadium yang jaraknya sekitar 45 menit naik
mobil. Setibanya di sana, aku tidak mendapat tempat parkir,” katanya. “Di
Nigeria, orang tidak parkir mobil dengan teratur”, kata Zak. “Jadi aku terjepit
diantara banyak mobil dan tidak ada yang dapat kulakukan karena semua orang
sudah masuk stadium.”
Zak berkata bahwa setelah dia berpikir, akhrnya dia mengambil keputusan untuk berjalan bersama anak perempuan lumpuh itu ke bangku stadium terdekat. Ketika berjalan ke sana, anak perempuan itu bertopang pada tongkat-tongkat penyanggahnya. Tapi satu tongkat kemudian patah sehingga dia bersandar ke tongkat satunya yang kemudian patah pula. Zak lalu menggendong anak perempuan itu.
Zak berkata bahwa setelah dia berpikir, akhrnya dia mengambil keputusan untuk berjalan bersama anak perempuan lumpuh itu ke bangku stadium terdekat. Ketika berjalan ke sana, anak perempuan itu bertopang pada tongkat-tongkat penyanggahnya. Tapi satu tongkat kemudian patah sehingga dia bersandar ke tongkat satunya yang kemudian patah pula. Zak lalu menggendong anak perempuan itu.
Di saat yang bersamaan, melalui pengeras suara yang tak jauh
dari situ, keduanya bisa mendengar upacara penyembuhan Kristen yang sedang
berlangsung di dalam stadium. Zak berkata bahwa yang kemudian terjadi adalah
sesuatu yang tidak dapat dia lupakan. Kaki-kaki anak perempuan itu mulai
bergerak dan dia minta diturunkan dari gendongan. “Di segala penjuru aku
mendengar kata-kata Yesus, Yesus, dan kemudian hal ini terjadi. Kukira tadinya
ini adalah upacara sihir atau Voodoo”, katanya. Anak perempuan itu
terus-menerus meminta Zak untuk menurunkannya agar dia bisa berjalan. “Aku
tidak mau melakukannya sehingga dia akhirnya menggigitku”, katanya sambil
menggulung lengan bajunya untuk menunjukkan bekas luka gigitan di tangannya.
Gigitan itu mengakibatkannya melepaskan anak perempuan itu dan tak lama kemudian, kata Zak, “Dia mulai berjalan. Sekarang akulah yang punya masalah. Aku pulang kembali bersama anak perempuan yang dapat berjalan. Masalah kedua adalah aku seorang Imam dan apa yang harus kukatakan kepada orangtua (Muslim) anak itu?
Gigitan itu mengakibatkannya melepaskan anak perempuan itu dan tak lama kemudian, kata Zak, “Dia mulai berjalan. Sekarang akulah yang punya masalah. Aku pulang kembali bersama anak perempuan yang dapat berjalan. Masalah kedua adalah aku seorang Imam dan apa yang harus kukatakan kepada orangtua (Muslim) anak itu?
Di malam itu, ibu anak perempuan itu jatuh pingsan sewaktu
melihat anaknya berjalan.” Untungnya, keluarga itu tidak mempermasalahkan hal
ini. “Masalahku yang terbesar terjadi ketika pada malam itu aku pergi ke
mesjid. Kami sedang melafalkan doa dan aku berkata Yesus Kristus dari Nazareth
dan suaraku menggema ke seluruh ruangan mesjid. Sampai hari ini aku tidak tahu
mengapa aku menyebut nama itu karena aku sebelumnya tidak merencanakannya”.
Meskipun begitu, hal itu menyebabkan diriku dipecat para pengurus mesjid.
“Mereka ingin membunuhku, menyakitiku. Karena itu, aku melarikan diri ke satu
desa ke desa lainnya dan tinggal di tempat-tempat kawan-kawan (Kristen) yang
kukenal,” katanya.
Masyarakat Muslim tidak hanya memecatnya dari jabatannya di
mesjid, tapi juga mengambil pekerjaan sekulernya, mobilnya, dan apartemennya,
katanya lagi. Ini adalah lingkungan masyarakat kecil sehingga mereka kenal satu
sama lain. “Setiap orang tahu apa yang kuucapkan”, jelasnya. “Di mesjid kau
tidak boleh meneriakkan kata ‘Yesus Kristus’ keras-keras.”
Sewaktu tinggal bersama rekan Kristennya, Zak mulai bertanya
tentang Yesus Kristus. “Aku ingin tahu siapa Yesus Kristus – itulah tujuanku.
Aku ingin mencari kebenaran”, katanya. Tak lama kemudian di tahun itu, Zak
memperoleh visa pelajar yang membuka kesempatan baginya untuk belajar di
Kanada. Dia tiba di sana pada tanggal 4 Mei, 1987. “Kakak lakiku yang tertua
tinggal di Kanada sehingga aku kemudian tinggal bersamanya”, katanya. Zak
belajar tentang sumber daya manusia dan ilmu komputer di Ottawa Univesity.
Kesibukan hidup di Amerika Utara menyebabkan dirinya lupa
tentang hal Kristiani. Sepuluh tahun kemudian, di tanggal 23 Januari 1997, iman
yang dulu dia cari dalam waktu singkat mulai kembali lagi dalam hidupnya. “Aku
menyelesaikan pekerjaanku di sebuah perusahaan di Kanada di mana aku bekerja
sebagai supervisor dan lalu pulang. Aku merasa letih dan lalu tertidur. Pada jam
3 pagi, aku mendengar ketukan di pintu di tempat tinggalku. Aku bangun untuk
memeriksanya tapi tidak kutemukan siapapun”, katanya.
Zak menceritakan bahwa ketukan itu terjadi beberapa kali tapi
tatkala dia membuka pintu, dia tidak menemukan siapapun. Lalu aku mendengar
suara yang berkata: “Sekalipun ayahmu dan ibumu meninggalkanmu, Aku akan
bersamamu”. Mazmur 27:10. Suara itu berkata lagi: “Sebelum Aku membentuk engkau
dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau”. Ini adalah kalimat dari Yeremia
1:5. Zak berkata bahwa mungkin Tuhan ingin memberitahunya agar dia menjadi
seorang pastor. Akhirnya aku melamar ke 50 sekolah alkitab, tapi mereka semua
menolakku, katanya. “Maka aku mulai membaca Alkitab dan mengunjungi gereja di
Ottawa”, katanya lagi.
Akhirnya di tahun 2000, Zak berkata bahwa dia diterima di Toronto Airport Christian Fellowship Bible School. Di sekolah ini dia bertemu Karen-Marie dan keduanya lalu menikah di bulan Desember 2003 di negara asal Karen di Skotlandia. Di bulan April 2003, Zak mulai bekerja sebagai pastor di Gateway Harvest Fellowship di Barrie.
Ketika melihat kembali pengalaman masa lalunya, Zak berkata bahwa apa yang dia pelajari lebih dari segala hal adalah kasih. “Kau tidak bisa membeli kasih. Kau tidak bisa mempelajari kasih. Kasih berasal dari pengenalan atas Tuhan yang sebenarnya. Tuhan adalah kasih dan Dia memberikan kita kasih agar kita dapat mengasihi orang lain”, katanya.
Akhirnya di tahun 2000, Zak berkata bahwa dia diterima di Toronto Airport Christian Fellowship Bible School. Di sekolah ini dia bertemu Karen-Marie dan keduanya lalu menikah di bulan Desember 2003 di negara asal Karen di Skotlandia. Di bulan April 2003, Zak mulai bekerja sebagai pastor di Gateway Harvest Fellowship di Barrie.
Ketika melihat kembali pengalaman masa lalunya, Zak berkata bahwa apa yang dia pelajari lebih dari segala hal adalah kasih. “Kau tidak bisa membeli kasih. Kau tidak bisa mempelajari kasih. Kasih berasal dari pengenalan atas Tuhan yang sebenarnya. Tuhan adalah kasih dan Dia memberikan kita kasih agar kita dapat mengasihi orang lain”, katanya.
Sebagai Imam Muslim dahulu, Zak mengatakan bahwa dia tidak
mengalami kasih seperti itu. “Aku dulu adalah orang yang keras hati. Aku
bekerja keras untuk membuktikan siapa diriku dan mengusahakan upaya ke surga.
Tapi Alkitab berkata bahwa surga itu ternyata gratisdan aku tidak perlu
bekerja keras untuk memperolehnya”, katanya.
Ibadah Zak dan Karen Marie berikutnya adalah jam 7
malam pada 16 April [2005]. Gereja Prince of Peace Anglican terletak di
jalan 565 Mosley. Mereka berkata siapapun boleh hadir. Mereka mengadakan
upacara ibadah setelah bertemu dengan rektor gereja Rev. Jim Seagram di Toronto
Airport Christian Fellowship Bible School. Zak berkata bahwa Seagram mengundang
dia dan istrinya untuk bersaksi dan lalu berkhotbah setiap bulan.
Ibadah yang mereka selenggarakan memberi kesempatan bagi umat
Kristen untuk bersatu. “Kesatuan itu penting. Di dalam segala hal yang
dilakukan Yesus Kristus, terpada suatu kesatuan. Tiada harapan tanpa kesatuan.
Kau tidak bisa hidup dalam pernikahan tanpa adanya kesatuan. Kau tidak bisa
punya gereja tanpa adanya kesatuan”, katanya. Kebaktian di Prince of Peace mengutamakan
kegiatan pujian dan ibadah, doa dan penyembuhan. Untuk informasi lebih lanjut,
hubungi Rev Jim Seagram di 428-3465.
Amin.
Website : http://www.gariba.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar