Translate

Sabtu, 16 Juli 2016

SEJARAH DAN SIMBOL LUCIFER DI INDONESIA


Tokoh tertinggi Freemasonry dari Lodge of London sebelum menandatangani dekrasi kemerdekaan Amerika pada tahun 1776, George Washington, pernah berkata, “Cara terbaik menyembunyikan rahasia adalah dengan meletakkannya di tempat umum…” Apa yang dikatakan Bapak Kemerdekaan Amerika ini memang benar. Mungkin juga dia terinspirasi dari pandangan ahli strategi perang asal Cina, Sun Tzu, yang berucap, “Persembunyian yang paling aman adalah di tempat yang paling terang.”

Ya, sesuatu yang paling tak terduga pihak lawan adalah cara yang paling lazim dilakukan orang untuk mencari aman dan akhirnya menang. Itu pula yang mengilhami Hitler yang kemudian menyusun konsep Blitzkrieg atau serangan dadakan yang nyaris menaklukkan seluruh Eropa. Atau yang dilakukan pesilat dengan jurus-jurus kembangannya.

Memahami hal ini dan menghubungkannya dengan fenomena tersembunyi yang banyak terdapat di berbagai gedung dan area publik, setidaknya menarik untuk dikaji. Apalagi hal ini terkait dengan penggunaan simbol-simbol. Profesor Robert Langdon, karakter utama Dan Brown dalam “The Da Vinci Code” berkata, “Simbol adalah bahasa universal, dan simbol adalah bahasa rahasia yang sudah berumur sangat tua…”

Nah, lantas mengapa Markas Besar Uni Eropa dibuat mirip dengan simbol Menara Babel? Mengapa markas besar angkatan bersenjata Amerika dibuat mengikut simbol Pentagon? Dan mengapa pula Pusat Pemerintahan Kabupaten Bekasi di Cikarang pun ikut-ikutan berbentuk Pentagon? Ini adalah sedikit dari apa yang akan kita bahas.


Pentagram dan Tabung Erlenmeyer di Cikarang, Indonesia




Ada langkah sederhana. Bukalah Google Earth. Lalu ketikkan “Cikarang, Bekasi, Indonesia”. Jika bola dunia yang ada di layar telah memperlihatkan lanskap Cikarang, dekatkan sampai dengan jarak elev.214 ft. Perhatikan baik-baik, dari arah pintu keluar Tol Cikarang Pusat, terus ke selatan melewati kompleks perumahan Delta Mas, dan Anda akan menemukan sebuah struktur kompleks bangunan berbentuk Pentagram dilihat dari atas, sama sebangun dengan bentuk Pentagon, Markas Besar Angkatan Bersenjata Amerika Serikat.



Anda heran? Saya pun heran. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Jangan berhenti, teruslah bergerak. Sekarang menyusur ke sebelah tenggaranya. Tetap pertahankan ketinggian di elev 214 ft. Atau agar tidak sulit “ambil” penggaris yang disediakan di atas Google Earth dan rentangkan sejauh 7,11 kilometer dari ‘Pentagon from Cikarang’ tersebut.




Kalau Anda jeli, Anda akan melihat struktur bangunan yang sangat mirip dengan Tabung atau Labu Erlenmeyer. Sebuah tabung yang lazim terdapat di laboratorium, yang berfungsi untuk menampung larutan, bahan, atau cairan. Labu Erlenmeyer dapat digunakan untuk meracik dan menghomogenkan bahan-bahan komposisi media, menampung akuades, kultivasi mikroba dalam kultur cair, dan lain-lainnya.

Mengapa ada simbol dunia medis di dalam struktur bangunan di tenggara ‘Pentagram from Cikarang’ tersebut? Saya juga belum bisa memastikannya.

Setelah melihat fakta di atas, mari kita kaji bersama-sama simbol tersebut. Yang pertama adalah Pentagon atau dalam bentuk yang lain juga Pentagram. Wikipedia menulis, “Pentagram digunakan secara simbolis pada masa Yunani kuno dan Babilonia. Pentagram dihubungkan dengan dunia sihir, dan banyak orang yang mempunyai kepercayaan paganisme mengenakan kalung berbentuk pentagram. Agama Kristen pernah menggunakan pentagram dengan umum untuk melambangkan lima luka Yesus, namun umat Kristen saat ini mengaitkan bentuk tersebut dengan Setan…”


Kepala Baphomet di Pusat Menteng


Ada cara mudah untuk melihat bukti adanya struktur simbol Kepala Kambing Iblis Baphomet di seputaran Taman Suropati. Ambil saja atlas Kota Jakarta, lalu tandai lokasi Taman Suropati. Putar atlas tersebut seratus delapan puluh derajat. Arah Utara yang biasanya berada di atas, menjadi di bawah. Nah, sekarang lihat baik-baik seputaran Taman Suropati tersebut.

Perhatikan: Jalan Untung Suropati (bagian bawah), Jalan Sunda Kelapa (bagian atas), Jalan Madiun dan Banyumas (tanduk kanan), serta Jalan Subang dan Cimahi (tanduk kiri). Letak jalan ini tidak pernah berubah sejak awal dibangunnya “Kota Menteng” oleh VOC hingga sekarang.



Dan yang menariknya lagi, tepat dibagian “otak kepala kambing” tersebut berdiri Gedung Bappenas. Gedung kuno bekas Loji Bintang Timur, markas besar gerakan Freemasonry Hindia Belanda. Gedung ini sampai sekarang menyimpan misteri sejarah, demikian pengakuan jujur Romo Adolf Heuken, SJ, di dalam bukunya “Menteng, ‘Kota Taman’ Pertama di Indonesia” (bersama Grace Pamungkas ST, 2001, hal.72-73).


Sejarah Wilayah Menteng

Menteng merupakan sentrum dari Batavia setelah diperluas. Kota Batavia awalnya berada di pesisir utara dengan bentuk sebuah kota benteng, lalu melebar ke wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Stadhuis (Sekarang populer disebut Museum Fatahillah).

Kian lama pendatang dari Belanda dan juga Eropa kian banyak datang ke Batavia, lalu ada serangan wabah penyakit di Batavia lama, maka pemerintah Hindia Belanda pun memperluas kota ini ke selatan, menjauhi Batavia Lama dengan membangun wilayah yang sekarang berada di sekitar Monas, yang dulu bernama Koningsplein.

Memasuki abad ke-20 Masehi, Koningsplein sudah dianggap padat, sehingga dibangunlah wilayah di selatannya lagi, yakni di Menteng. Menteng modern pertama kali dibangun di awal abad ke-20 Masehi oleh Pemerintah Kota Praja Hindia Belanda.

Awalnya Kota Praja menyetujui rancangan PAJ. Moojen, seorang arsitek Belanda didikan Belgia yang merancang suatu bentuk radial pada kawasan tersebut, dengan pusatnya berada di sebuah tanah lapang yang sekarang disebut Taman Suropati.

Bentuknya seperti sebuah lingkaran, lengkap dengan sulur-sulur jalan dan pertemuan-pertemuannya yang seluruhnya berporos pada tanah lapang itu yang kemudian oleh Kota Praja dinamakan sebagai Burgemeester Bisschopplein, sebagai bentuk penghormatan pada Walikota Batavia pertama tahun 1916-1920, General Governor Meneer Bisschop, yang juga salah seorang petinggi Masonry.

Dalam rancangan Moojen, belum ada niatan untuk mendirikan Adhucstat Logegebouw di selatan Taman Suropati. Pola rancang Menteng dari Moojen yang dibuat pada tahun 1910 baru disetujui Kota Praja dua tahun setelahnya.

Rancangan Moojen ini di kemudian hari ternyata dianggap banyak membawa masalah, terutama dalam hal pengaturan lalu lintas. Banyak pertemuan jalan dengan sudut yang tajam, seperti di per’enam’an (!) jalan-jalan Cokroaminoto—Sam Ratulangi—Gereja Theresia—Yusuf Adiwinata.

Sebab itu, Kota Praja berencana untuk ‘memoles’ Menteng lebih indah lagi dan tentu saja mengurangi kesulitan yang ditimbulkan oleh rancangan yang pertama. Maka di tahun 1918 Kota Praja memanggil Ir. F.J. Kubatz untuk ditugasi hal tersebut yang dibantu oleh Ir. J.F. Van Hoytema, Ir. F.J.L. Ghijsels, dan H. Von Essen.

Oleh Kubatz dan kawan-kawan, gaya radial Moojen tidak sepenuhnya dipapas, namun diperlembut di sana-sini. Sentrum Menteng tetap di Burgemeester Bisschopplein. Hanya saja, jika Moojen merancang sentrum tersebut benar-benar bulat, maka oleh Kubatz diubah sedikit. Di bagian selatan Burgemeester Bisschopplein dibuat menjadi lebih datar. Jadi, dilihat dari udara, seputar taman ini seperti sebuah kubah dengan bagian utara sebagai kubah dan bagian selatan sebagai dasarnya.

Salah satu rekan Kubatz, Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels, pada 1916 mendirikan biro arsitek dan kontraktor AIA (Algemen Ingenieurs en Architecten Bureau) yang kemudian menjadi terkenal. Sembilan tahun kemudian, AIA ikutan proyek pembangunan Adhucstat Logegebouw dan juga Gereja Paulus di sebelah Baratnya.

Pembangunan Adhucstat Logegebouw atau yang kini kita kenal sebagai Gedung Bappenas, menimbulkan banyak kontroversi. Catatan resmi menyebutkan jika gedung tersebut mulai dibangun pada tahun 1925 dengan bentuk yang sungguh-sungguh berbeda dengan vegetasi sekitar. Bentuk bangunannya mirip dengan benteng dengan sisi kanan dan sisi kirinya berbentuk kaku-persegi serta menjorok ke depan sedikit.

Namun sebuah foto yang diambil di awal 1920-an menggambarkan jika gedung tersebut awalnya menunjukkan pengaruh klasisisme yang kuat dengan empat pilar utama yang tinggi di beranda depan, lengkap dengan atap berbentuk piramida seperti jenis bangunan klasisisme lainnya, serta bentuk kiri dan kanan bangunan yang persegi namun sepertinya tidak terlalu dominan.

Salah satu contoh bangunan bergaya klasisme adalah Gedung Pancasila yang dekat Lapangan Banteng atau pun Gedung Museum Gajah di Medan Merdeka Barat. Perubahan bentuk dari awal tahun 1920-an hingga dianggap “dibangun kembali” pada 1925, sampai sekarang masih menjadi bahan penyelidikan para pengamat arsitektur gedung-gedung bersejarah. Misterius, memang. Belum lagi kegiatan persaudaraan rahasia di dalamnya.

Adolf Heuken, SJ, merupakan seorang peneliti Jerman yang sangat intens meneliti manuskrip-manuskrip kuno tentang Batavia. Sejumlah hasil penelitiannya sudah dibukukan. Salah satunya tentang Menteng. Dalam buku “Menteng, ‘Kota Taman’ Pertama di Indonesia” (bersama Grace Pamungkas ST, 2001, hal.72-73), Heuken menyatakan jika Gedung Vrijmetselarij (Freemasonry) di pusat Menteng masih menyimpan misteri hingga saat ini.Pernah Dikenal Sebagai Rumah Setan

Di masa Batavia, Loji Bintang Timur yang sekarang dikenal sebagai Gedung Bappenas dinamakan Adhucstat. Gedung ini dirancang Ir. N.E. Burkoven Jaspers. Adhucstat memiliki arti sebagai “Kami Masih Berdiri di Sini”. Setelah selesai dibangun pada 1934, gedung ini langsung difungsikan sesuai dengan perencanaan semula, yakni sebagai Loji atau markas persaudaraan Mason Bebas Hindia Belanda.

Sebelumnya, para Mason ini mengunakan Loji De Ster in het Oosten atau Loji Bintang Timur yang berdiri di Vrijmetselaarsweg atau Jalan Freemasonry—nama jalan itu sekarang menjadi Jalan Budi Utomo, sebuah perkumpulan priyayi Jawa-Madura yang dekat hubungannya dengan Tarekat Mason Bebas. Setelah Adhucstat rampung, tokoh-tokoh Mason ini pindah ke gedung yang baru di pusat wilayah Menteng tersebut.

Sebab itu, Adhucstat Logegebouw ini juga dikenal dengan nama Loji Bintang Timur yang baru (The Nieuw De Ster in het Oosten Loge). Ritual pemanggilan arwah sebagai ritual utama para Mason mulai saat itu dilakukan di lantai bawah Adhucstat. Tentunya secara diam-diam. Namun lama-kelamaan hal yang ganjil tersebut akhirnya terendus orang luar dan menyebar dengan cepat bagaikan wabah penyakit. Orang pribumi menyebut Adhucstat sebagai “Rumah Setan”, sebutan yang sama yang dipakai para pribumi untuk loji-loji Mason lainnya di seluruh Hindia Belanda ketika itu.

Pada zaman pendudukan Jepang di Jakarta, aktivitas persaudaraan Mason Hindia Belanda sempat berhenti. Oleh Jepang, nama-nama Belanda untuk kota, gedung, dan sebagainya dihapus dan digantikan dengan nama Indonesia, seperti: Batavia diubah menjadi Jakarta, Buitenzorg jadi Bogor, Cherebon jadi Cirebon, Meester Cornelis jadi Jatinegara, dan Burgemeester Bisschopplein menjadi Taman Suropati. Namun ketika Jepang kalah dan Belanda kembali menancapkan kukunya di Indonesia, aktivitas Freemasonry kembali hidup, bahkan hingga ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949. Ini bisa terjadi karena anggota dan tokoh Vrijmetselaren bukan saja orang Belanda dan Eropa, namun juga tokoh-tokoh Indonesia sendiri.

Namun yang namanya bangkai tetap saja tercium bau busuknya walau ditutup rapat. Ritual Freemasonry yang sering melakukan pemanggilan arwah orang mati terdengar warga Jakarta dan menyebar dengan cepat menjadi desas-desus. Warga Jakarta yang religius merasa terganggu dan mendesak Soekarno agar menyelidiki hal itu.

Akhirnya pada awal Maret 1950, Soekarno memanggil Suhu Agung Freemasonry Indonesia ke Istana Merdeka untuk dimintakan klarifikasi. Grandmaster Mason Indonesia itu tentu membantah semua tuduhan. Namun sepuluh tahun kemudian, pada 27 Februari 1961, Soekarno melarang dan membubarkan Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia), Moral Re-Armament Movement, dan Ancient Mystical Organization of Rucen-Cruisers (Amorc) secara resmi lewat Lembaran Negara RI Nomor 18/1961. Setahun kemudian, keputusan ini dipertegas dengan Keppres nomor 264/1962 yang melarang organisasi-organisasi tersebut, juga pelarangan terhadap Baha’iyyah. Semua aset berupa gedung dan sebagainya disita negara.

Di masa Soeharto berkuasa, ‘Rumah Setan’ itu sempat dipakai buat mengadili tokoh-tokoh sipil dan militer yang dituding tersangkut kasus pembunuhan para jenderal tahun 1965. Setelah itu bekas Adhucstat Logegebouw ini oleh Orde Baru (The New Order) difungsikan sebagai kantor Bappenas, sebuah badan pemerintah yang bertugas merencanakan dan menentukan arah pembangunan di negeri ini. Sebuah tugas yang persis sama dengan akar para Mason itu sendiri.



Mata Horus, Tema Illuminaty, dan Bundaran Hotel Indonesia


Di zaman VOC, pintu gerbang Menteng ada di seputaran Gondangdia, dekat Masjid Cut Meutiah sekarang. Namun di zaman Orde Baru, pintu gerbangnya ‘dipindahkan’, bukan lagi di utara tapi di sebelah baratnya, yaitu Bundaran Hotel Indonesia.

Bundaran Hotel Indonesia atau yang biasa disingkat menjadi Bundaran HI, lengkap dengan air mancur dan Tugu Selamat Datang-nya, merupakan salah satu proyek Soekarno yang dibangun pada tahun 1960-an untuk menyambut kedatangan atlet Asian Games yang akan berlaga di Jakarta. Di zaman Gubernur Ali Sadikin, Bundaran HI dijadikan lokasi dilangsungkannya malam muda-mudi pada setiap malam pergantian tahun, di mana sejumlah panggung hiburan rakyat didirikan dan warga Jakarta dan sekitarnya tumpah ruah di sana.

Paska zaman Suharto, bundaran Hotel Indonesia malah kerap dijadikan panggung demonstrasi oleh berbagai elemen massa dan berbagai kepentingan. Selain itu, sejumlah bangunan dan situs bersejarah yang ada di Jakarta juga rusak ketika gelombang unjuk rasa besar-besaran terjadi sepanjang Mei 1998. Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, mencanangkan gerakan rehabilitasi Jakarta agar kembali menjadi kota yang rapi dan besar, seperti ibukota negara lainnya.

Salah satu proyeknya, di tahun 2001, adalah merehabilitasi Bundaran Hotel Indonesia, lengkap dengan air mancur dan patung Tugu Selamat Datangnya, agar kembali menjadi salah satu ikon Jakarta yang cantik selain Monas. Namun anehnya, program rehabilitasi air mancur itu bernuansa Luciferistik “CAHAYA”, yakni, “Membangun Kebanggaan Nasional Melalui Pencahayaan”. Entah kebetulan atau tidak, kontraktor yang ditunjuk pun General Electric (GE). GE merupakan perusahaan yang juga bertanggungjawab atas tata cahaya Patung Liberty di Washington DC dan Chain Bridge di Hongaria. Di Jawa Tengah, GE menangani tata cahaya Candi Prambanan.

Profesor Nick Turse dalam “The Complex” (2009) menulis, “GE adalah salah satu perusahaan Amerika yang dekat dengan industri perang Pentagon. Sejak tahun 1957 hingga 1961, GE bahkan termasuk dalam lima besar kontraktor militer Pentagon di samping General Dynamics, Boeing, Lockheed, dan North American Aviation. Sejak 2006, GE telah meluncur turun ke urutan empatbelas terbesar. Walau demikian, nila laba yang diperoleh GE di tahun itu masih sangat besar, tidak kurang dari $ 2,3 miliar dari Departemen Pertahanan AS, dengan mengerjakan sistem persenjataan untuk Helikopter tempur Hawk UH-60 dan pesawat multiguna F/A-18 Hornet. Keduanya digunakan di Irak.”

Tema “CAHAYA” dalam proyek rehab Bundaran HI, dalam bahasa latin disebut dengan nama “Lucifer”.

Tidak ada komentar: