Tokoh tertinggi Freemasonry dari Lodge of London sebelum
menandatangani dekrasi kemerdekaan Amerika pada tahun 1776, George Washington,
pernah berkata, “Cara terbaik menyembunyikan rahasia adalah dengan
meletakkannya di tempat umum…” Apa yang dikatakan Bapak Kemerdekaan Amerika ini
memang benar. Mungkin juga dia terinspirasi dari pandangan ahli strategi perang
asal Cina, Sun Tzu, yang berucap, “Persembunyian yang paling aman adalah di
tempat yang paling terang.”
Ya, sesuatu yang paling tak terduga pihak lawan adalah cara
yang paling lazim dilakukan orang untuk mencari aman dan akhirnya menang. Itu
pula yang mengilhami Hitler yang kemudian menyusun konsep Blitzkrieg atau
serangan dadakan yang nyaris menaklukkan seluruh Eropa. Atau yang dilakukan
pesilat dengan jurus-jurus kembangannya.
Memahami hal ini dan menghubungkannya dengan fenomena
tersembunyi yang banyak terdapat di berbagai gedung dan area publik, setidaknya
menarik untuk dikaji. Apalagi hal ini terkait dengan penggunaan simbol-simbol.
Profesor Robert Langdon, karakter utama Dan Brown dalam “The Da Vinci Code”
berkata, “Simbol adalah bahasa universal, dan simbol adalah bahasa rahasia yang
sudah berumur sangat tua…”
Nah, lantas mengapa Markas Besar Uni Eropa dibuat mirip
dengan simbol Menara Babel? Mengapa markas besar angkatan bersenjata Amerika
dibuat mengikut simbol Pentagon? Dan mengapa pula Pusat Pemerintahan Kabupaten
Bekasi di Cikarang pun ikut-ikutan berbentuk Pentagon? Ini adalah sedikit dari
apa yang akan kita bahas.
Pentagram dan Tabung Erlenmeyer di Cikarang, Indonesia
Ada
langkah sederhana. Bukalah Google Earth. Lalu ketikkan “Cikarang, Bekasi,
Indonesia”. Jika bola dunia yang ada di layar telah memperlihatkan lanskap
Cikarang, dekatkan sampai dengan jarak elev.214 ft. Perhatikan baik-baik, dari
arah pintu keluar Tol Cikarang Pusat, terus ke selatan melewati kompleks
perumahan Delta Mas, dan Anda akan menemukan sebuah struktur kompleks bangunan
berbentuk Pentagram dilihat dari atas, sama sebangun dengan bentuk Pentagon,
Markas Besar Angkatan Bersenjata Amerika Serikat.
Anda heran? Saya pun heran. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Jangan berhenti, teruslah bergerak. Sekarang menyusur ke
sebelah tenggaranya. Tetap pertahankan ketinggian di elev 214 ft. Atau agar
tidak sulit “ambil” penggaris yang disediakan di atas Google Earth dan
rentangkan sejauh 7,11 kilometer dari ‘Pentagon from Cikarang’ tersebut.
Kalau Anda jeli, Anda akan melihat struktur bangunan yang
sangat mirip dengan Tabung atau Labu Erlenmeyer. Sebuah tabung yang lazim
terdapat di laboratorium, yang berfungsi untuk menampung larutan, bahan, atau
cairan. Labu Erlenmeyer dapat digunakan untuk meracik dan menghomogenkan
bahan-bahan komposisi media, menampung akuades, kultivasi mikroba dalam kultur
cair, dan lain-lainnya.
Mengapa ada simbol dunia medis di dalam struktur bangunan di
tenggara ‘Pentagram from Cikarang’ tersebut? Saya juga belum bisa
memastikannya.
Setelah melihat fakta di atas, mari kita kaji bersama-sama
simbol tersebut. Yang pertama adalah Pentagon atau dalam bentuk yang lain juga
Pentagram. Wikipedia menulis, “Pentagram digunakan secara simbolis pada masa
Yunani kuno dan Babilonia. Pentagram dihubungkan dengan dunia sihir, dan banyak
orang yang mempunyai kepercayaan paganisme mengenakan kalung berbentuk
pentagram. Agama Kristen pernah menggunakan pentagram dengan umum untuk
melambangkan lima luka Yesus, namun umat Kristen saat ini mengaitkan bentuk
tersebut dengan Setan…”
Kepala Baphomet di Pusat Menteng
Ada cara mudah untuk melihat bukti adanya struktur simbol
Kepala Kambing Iblis Baphomet di seputaran Taman Suropati. Ambil saja atlas
Kota Jakarta, lalu tandai lokasi Taman Suropati. Putar atlas tersebut seratus
delapan puluh derajat. Arah Utara yang biasanya berada di atas, menjadi di
bawah. Nah, sekarang lihat baik-baik seputaran Taman Suropati tersebut.
Perhatikan: Jalan Untung Suropati (bagian bawah), Jalan Sunda
Kelapa (bagian atas), Jalan Madiun dan Banyumas (tanduk kanan), serta Jalan
Subang dan Cimahi (tanduk kiri). Letak jalan ini tidak pernah berubah sejak
awal dibangunnya “Kota Menteng” oleh VOC hingga sekarang.
Dan yang menariknya lagi, tepat dibagian “otak kepala
kambing” tersebut berdiri Gedung Bappenas. Gedung kuno bekas Loji Bintang
Timur, markas besar gerakan Freemasonry Hindia Belanda. Gedung ini sampai
sekarang menyimpan misteri sejarah, demikian pengakuan jujur Romo Adolf Heuken,
SJ, di dalam bukunya “Menteng, ‘Kota Taman’ Pertama di Indonesia” (bersama
Grace Pamungkas ST, 2001, hal.72-73).
Sejarah Wilayah Menteng
Menteng merupakan sentrum dari Batavia setelah diperluas.
Kota Batavia awalnya berada di pesisir utara dengan bentuk sebuah kota benteng,
lalu melebar ke wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Stadhuis (Sekarang
populer disebut Museum Fatahillah).
Kian lama pendatang dari Belanda dan juga Eropa kian banyak
datang ke Batavia, lalu ada serangan wabah penyakit di Batavia lama, maka
pemerintah Hindia Belanda pun memperluas kota ini ke selatan, menjauhi Batavia
Lama dengan membangun wilayah yang sekarang berada di sekitar Monas, yang dulu
bernama Koningsplein.
Memasuki abad ke-20 Masehi, Koningsplein sudah dianggap
padat, sehingga dibangunlah wilayah di selatannya lagi, yakni di Menteng.
Menteng modern pertama kali dibangun di awal abad ke-20 Masehi oleh Pemerintah
Kota Praja Hindia Belanda.
Awalnya Kota Praja menyetujui rancangan PAJ. Moojen, seorang
arsitek Belanda didikan Belgia yang merancang suatu bentuk radial pada kawasan
tersebut, dengan pusatnya berada di sebuah tanah lapang yang sekarang disebut Taman
Suropati.
Bentuknya seperti sebuah lingkaran, lengkap dengan
sulur-sulur jalan dan pertemuan-pertemuannya yang seluruhnya berporos pada
tanah lapang itu yang kemudian oleh Kota Praja dinamakan sebagai Burgemeester
Bisschopplein, sebagai bentuk penghormatan pada Walikota Batavia pertama tahun
1916-1920, General Governor Meneer Bisschop, yang juga salah seorang petinggi
Masonry.
Dalam rancangan Moojen, belum ada niatan untuk mendirikan
Adhucstat Logegebouw di selatan Taman Suropati. Pola rancang Menteng dari
Moojen yang dibuat pada tahun 1910 baru disetujui Kota Praja dua tahun
setelahnya.
Rancangan Moojen ini di kemudian hari ternyata dianggap
banyak membawa masalah, terutama dalam hal pengaturan lalu lintas. Banyak
pertemuan jalan dengan sudut yang tajam, seperti di per’enam’an (!) jalan-jalan
Cokroaminoto—Sam Ratulangi—Gereja Theresia—Yusuf Adiwinata.
Sebab itu, Kota Praja berencana untuk ‘memoles’ Menteng lebih
indah lagi dan tentu saja mengurangi kesulitan yang ditimbulkan oleh rancangan
yang pertama. Maka di tahun 1918 Kota Praja memanggil Ir. F.J. Kubatz untuk
ditugasi hal tersebut yang dibantu oleh Ir. J.F. Van Hoytema, Ir. F.J.L.
Ghijsels, dan H. Von Essen.
Oleh Kubatz dan kawan-kawan, gaya radial Moojen tidak
sepenuhnya dipapas, namun diperlembut di sana-sini. Sentrum Menteng tetap di
Burgemeester Bisschopplein. Hanya saja, jika Moojen merancang sentrum tersebut
benar-benar bulat, maka oleh Kubatz diubah sedikit. Di bagian selatan
Burgemeester Bisschopplein dibuat menjadi lebih datar. Jadi, dilihat dari
udara, seputar taman ini seperti sebuah kubah dengan bagian utara sebagai kubah
dan bagian selatan sebagai dasarnya.
Salah satu rekan Kubatz, Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels,
pada 1916 mendirikan biro arsitek dan kontraktor AIA (Algemen Ingenieurs en
Architecten Bureau) yang kemudian menjadi terkenal. Sembilan tahun kemudian,
AIA ikutan proyek pembangunan Adhucstat Logegebouw dan juga Gereja Paulus di
sebelah Baratnya.
Pembangunan Adhucstat Logegebouw atau yang kini kita kenal
sebagai Gedung Bappenas, menimbulkan banyak kontroversi. Catatan resmi
menyebutkan jika gedung tersebut mulai dibangun pada tahun 1925 dengan bentuk
yang sungguh-sungguh berbeda dengan vegetasi sekitar. Bentuk bangunannya mirip
dengan benteng dengan sisi kanan dan sisi kirinya berbentuk kaku-persegi serta
menjorok ke depan sedikit.
Namun sebuah foto yang diambil di awal 1920-an menggambarkan
jika gedung tersebut awalnya menunjukkan pengaruh klasisisme yang kuat dengan
empat pilar utama yang tinggi di beranda depan, lengkap dengan atap berbentuk
piramida seperti jenis bangunan klasisisme lainnya, serta bentuk kiri dan kanan
bangunan yang persegi namun sepertinya tidak terlalu dominan.
Salah satu contoh bangunan bergaya klasisme adalah Gedung
Pancasila yang dekat Lapangan Banteng atau pun Gedung Museum Gajah di Medan
Merdeka Barat. Perubahan bentuk dari awal tahun 1920-an hingga dianggap
“dibangun kembali” pada 1925, sampai sekarang masih menjadi bahan penyelidikan
para pengamat arsitektur gedung-gedung bersejarah. Misterius, memang. Belum
lagi kegiatan persaudaraan rahasia di dalamnya.
Adolf Heuken, SJ, merupakan seorang peneliti Jerman yang
sangat intens meneliti manuskrip-manuskrip kuno tentang Batavia. Sejumlah hasil
penelitiannya sudah dibukukan. Salah satunya tentang Menteng. Dalam buku
“Menteng, ‘Kota Taman’ Pertama di Indonesia” (bersama Grace Pamungkas ST, 2001,
hal.72-73), Heuken menyatakan jika Gedung Vrijmetselarij (Freemasonry) di pusat
Menteng masih menyimpan misteri hingga saat ini.Pernah Dikenal Sebagai Rumah
Setan
Di masa Batavia, Loji Bintang Timur yang sekarang dikenal
sebagai Gedung Bappenas dinamakan Adhucstat. Gedung ini dirancang Ir. N.E.
Burkoven Jaspers. Adhucstat memiliki arti sebagai “Kami Masih Berdiri di Sini”.
Setelah selesai dibangun pada 1934, gedung ini langsung difungsikan sesuai
dengan perencanaan semula, yakni sebagai Loji atau markas persaudaraan Mason
Bebas Hindia Belanda.
Sebelumnya, para Mason ini mengunakan Loji De Ster in het
Oosten atau Loji Bintang Timur yang berdiri di Vrijmetselaarsweg atau Jalan
Freemasonry—nama jalan itu sekarang menjadi Jalan Budi Utomo, sebuah
perkumpulan priyayi Jawa-Madura yang dekat hubungannya dengan Tarekat Mason Bebas.
Setelah Adhucstat rampung, tokoh-tokoh Mason ini pindah ke gedung yang baru di
pusat wilayah Menteng tersebut.
Sebab itu, Adhucstat Logegebouw ini juga dikenal dengan nama
Loji Bintang Timur yang baru (The Nieuw De Ster in het Oosten Loge). Ritual pemanggilan
arwah sebagai ritual utama para Mason mulai saat itu dilakukan di lantai bawah
Adhucstat. Tentunya secara diam-diam. Namun lama-kelamaan hal yang ganjil
tersebut akhirnya terendus orang luar dan menyebar dengan cepat bagaikan wabah
penyakit. Orang pribumi menyebut Adhucstat sebagai “Rumah Setan”, sebutan yang
sama yang dipakai para pribumi untuk loji-loji Mason lainnya di seluruh Hindia
Belanda ketika itu.
Pada zaman pendudukan Jepang di Jakarta, aktivitas
persaudaraan Mason Hindia Belanda sempat berhenti. Oleh Jepang, nama-nama
Belanda untuk kota, gedung, dan sebagainya dihapus dan digantikan dengan nama
Indonesia, seperti: Batavia diubah menjadi Jakarta, Buitenzorg jadi Bogor,
Cherebon jadi Cirebon, Meester Cornelis jadi Jatinegara, dan Burgemeester
Bisschopplein menjadi Taman Suropati. Namun ketika Jepang kalah dan Belanda
kembali menancapkan kukunya di Indonesia, aktivitas Freemasonry kembali hidup,
bahkan hingga ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949. Ini bisa
terjadi karena anggota dan tokoh Vrijmetselaren bukan saja orang Belanda dan
Eropa, namun juga tokoh-tokoh Indonesia sendiri.
Namun yang namanya bangkai tetap saja tercium bau busuknya
walau ditutup rapat. Ritual Freemasonry yang sering melakukan pemanggilan arwah
orang mati terdengar warga Jakarta dan menyebar dengan cepat menjadi
desas-desus. Warga Jakarta yang religius merasa terganggu dan mendesak Soekarno
agar menyelidiki hal itu.
Akhirnya pada awal Maret 1950, Soekarno memanggil Suhu Agung
Freemasonry Indonesia ke Istana Merdeka untuk dimintakan klarifikasi.
Grandmaster Mason Indonesia itu tentu membantah semua tuduhan. Namun sepuluh
tahun kemudian, pada 27 Februari 1961, Soekarno melarang dan membubarkan
Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia), Moral Re-Armament Movement, dan
Ancient Mystical Organization of Rucen-Cruisers (Amorc) secara resmi lewat
Lembaran Negara RI Nomor 18/1961. Setahun kemudian, keputusan ini dipertegas
dengan Keppres nomor 264/1962 yang melarang organisasi-organisasi tersebut,
juga pelarangan terhadap Baha’iyyah. Semua aset berupa gedung dan sebagainya
disita negara.
Di masa Soeharto berkuasa, ‘Rumah Setan’ itu sempat dipakai
buat mengadili tokoh-tokoh sipil dan militer yang dituding tersangkut kasus
pembunuhan para jenderal tahun 1965. Setelah itu bekas Adhucstat Logegebouw ini
oleh Orde Baru (The New Order) difungsikan sebagai kantor Bappenas, sebuah
badan pemerintah yang bertugas merencanakan dan menentukan arah pembangunan di
negeri ini. Sebuah tugas yang persis sama dengan akar para Mason itu sendiri.
Mata Horus, Tema Illuminaty, dan Bundaran Hotel Indonesia
Di zaman VOC, pintu gerbang Menteng ada di seputaran
Gondangdia, dekat Masjid Cut Meutiah sekarang. Namun di zaman Orde Baru, pintu
gerbangnya ‘dipindahkan’, bukan lagi di utara tapi di sebelah baratnya, yaitu
Bundaran Hotel Indonesia.
Bundaran Hotel Indonesia atau yang biasa disingkat menjadi
Bundaran HI, lengkap dengan air mancur dan Tugu Selamat Datang-nya, merupakan
salah satu proyek Soekarno yang dibangun pada tahun 1960-an untuk menyambut
kedatangan atlet Asian Games yang akan berlaga di Jakarta. Di zaman Gubernur
Ali Sadikin, Bundaran HI dijadikan lokasi dilangsungkannya malam muda-mudi pada
setiap malam pergantian tahun, di mana sejumlah panggung hiburan rakyat didirikan
dan warga Jakarta dan sekitarnya tumpah ruah di sana.
Paska zaman Suharto, bundaran Hotel Indonesia malah kerap
dijadikan panggung demonstrasi oleh berbagai elemen massa dan berbagai
kepentingan. Selain itu, sejumlah bangunan dan situs bersejarah yang ada di
Jakarta juga rusak ketika gelombang unjuk rasa besar-besaran terjadi sepanjang
Mei 1998. Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, mencanangkan gerakan rehabilitasi
Jakarta agar kembali menjadi kota yang rapi dan besar, seperti ibukota negara
lainnya.
Salah satu proyeknya, di tahun 2001, adalah merehabilitasi
Bundaran Hotel Indonesia, lengkap dengan air mancur dan patung Tugu Selamat
Datangnya, agar kembali menjadi salah satu ikon Jakarta yang cantik selain
Monas. Namun anehnya, program rehabilitasi air mancur itu bernuansa
Luciferistik “CAHAYA”, yakni, “Membangun Kebanggaan Nasional Melalui
Pencahayaan”. Entah kebetulan atau tidak, kontraktor yang ditunjuk pun General
Electric (GE). GE merupakan perusahaan yang juga bertanggungjawab atas tata
cahaya Patung Liberty di Washington DC dan Chain Bridge di Hongaria. Di Jawa
Tengah, GE menangani tata cahaya Candi Prambanan.
Profesor Nick Turse dalam “The Complex” (2009) menulis, “GE
adalah salah satu perusahaan Amerika yang dekat dengan industri perang Pentagon.
Sejak tahun 1957 hingga 1961, GE bahkan termasuk dalam lima besar kontraktor
militer Pentagon di samping General Dynamics, Boeing, Lockheed, dan North
American Aviation. Sejak 2006, GE telah meluncur turun ke urutan empatbelas
terbesar. Walau demikian, nila laba yang diperoleh GE di tahun itu masih sangat
besar, tidak kurang dari $ 2,3 miliar dari Departemen Pertahanan AS, dengan
mengerjakan sistem persenjataan untuk Helikopter tempur Hawk UH-60 dan pesawat
multiguna F/A-18 Hornet. Keduanya digunakan di Irak.”
Tema “CAHAYA” dalam proyek rehab Bundaran HI, dalam bahasa
latin disebut dengan nama “Lucifer”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar